Senin, 28 November 2011

Contoh Kasus-Kasus Yang Berkaitan Dengan Penderitaan Dan Keadilan


Contoh Kasus-Kasus Yang Berkaitan Dengan Penderitaan Dan Keadilan


Contoh kasus yang berkaitan dengan penderitaan:

Mantan TKW Arab Saudi Depresi, 6 Tahun Tidak Digaji

Imam Androngi (35) tidak menyangka kakaknya, Siti Nurkhasanah (38) yang bekerja di Arab Saudi pulang dalam kondisi yang tidak wajar. Jika diajak berbicara tentang pekerjaannya di Arab Saudi, Siti Nurkhasanah akan melantur, bahkan marah dengan menyebut majikannya sebagai orang yang tidak baik dan gaji tidak pernah dibayarkan.
Siti Nurkhasanah adalah warga Dusun Bojong Maros RT. 03, RW. 17 Desa Pahonjean, Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap. Ia mengalami depresi setelah bekerja di Arab Saudi.
Imam Androngi mengetahui gejala depresi yang dialami siti sejak kepulangannya 1 Oktober 2011 lalu. “Kondisinya tidak seperti dulu ketika ia berangkat. Setiap kali disuruh makan, ia akan marah. Setiap kali diajak bercerita tentang pekerjaan dan majikan diarab saudi, siti akan marah-marah dan selanjutnya akan berbicara sendiri,” ungkap Imam Androngi, kakak Siti Nurkhasanah.
Depresi ini diperkirakan karena Siti selalu dilarang keluar rumah oleh majikannya. Siti yang berangkat pada 2005 lalu, juga dilarang berkomunikasi dengan keluarga di tanah air. “Dia bilang ke saya kalau dilarang keluar sama majikan. Imam menuturkan, jika ada telepon dari keluarga, majikan langsung tutup telepon. Padahal pada tahun pertama tidak seperti itu,” kata Mahrur, paman Siti Nurkhasanah dan Imam Adrongi.
Gaji Siti selama enam 6 tahun sejak keberangkatannya tahun 2005 juga tidak dibayarkan oleh majikannya. “Kadang-kadang, ia bisa diajak bicara normal kalau sudah agak tenang. Dari situlah saya tahu, ia hanya menerima gaji 1 bulan dari enam tahun ia bekerja. Gaji tersebut ia terima ketika mau pulang,” lanjut Imam Androngi.

Selain depresi dan gaji tidak dibayarkan, Siti Nurkhasanah juga kehilangan barang bawaanya ketika berada di bandara SUkarno Hatta. Tas besar yang ia titipkan lewat bagasi, tidak pernah ia temukan lagi. Ia hanya membawa pulang 1 tas kecil berisi surat-surat dan 2 buah mukena serta satu buah baju yang ia kenakan. “Paspor terkhir juga di minta di Bandara,” ungkap Imam Androngi. Siti Nurkhasanah sendiri sempat menjawab jika paspornya diminta orang yang mirip suster. Ketika sampai di rumah, Siti hanya membawa paspor tahun 2001 yang sudah tidak berlaku lagi.
Siti memang sudah dua kali ke Arab Saudi sebelum kepulangannya yang ketiga. Dua kali bekerja di Arab Saudi selama masing-masing 3 tahun bisa dikategorikan sukses. Jika dijumlahkan dengan keberangkatan yang ketiga ini, maka Siti Nurkhasanah sudah bekerja di Arab Saudi selama 12 tahun.

Sebelum dipulangkan ke Majenang, kepada Imam Androngi, Siti menceritakan Ia sempat berada di Rumah Ssakit (RS) Polri di Kramatjati, Jakarta selama kurang lebih 10 hari. Dia dikirim ke RS tersebut bersama sejumlah temannya yang lain saat baru turun di Bandara Jakarta. Setelah itu, dia dikirim kembali bersama satu orang TKW lainnya ke bandara untuk kemudian diantar pulang ke Majenang menggunakan jasa travel.
“Kami hanya berharap pemerintah mau membantu pengobatan kakak saya. Saya juga berharap gaji kakak saya dibayarkan, minimal sesuai dengan waktu yang ada di kontrak kerja tidak masalah. Intinya hak-hak dari kaka saya ditunaikan. Jika memang ada asuransinya, kami juga memohon hak tersebut bisa ditunaikan,” lanjut Imam.

Sesuai dokumen yang ada di tas Siti Nurkhasanah, ia pulang menggunakan exit final visa yang dikeluarkan imigrasi Arab. Selain dokumen paspor lama dan exit final visa, di tas Siti Nurkhasanah juga ditemukan kontrak kerja yang berlaku sejak bulan November 2005 dan juga surat medical check up. Melalui surat Kontrak kerja tersebut, bisa diketahuai jika Siti Nurkhasanah berangkat melalui PT. Amri Margatama Jakarta.
Kasus Siti Nurkhasanah semakin menambah buram potret buruh migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi.

Contoh kasus yang berkaitan dengan keadilan:

Kasus Prita dan iPad Mengusik Rasa Keadilan

Beberapa hari lalu dan sampai hari ini, kasus iPad menjadi bahan pembicaraan dan berita di media-media dan menyusul kemudian lanjutan kasus Prita dimana Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa yang menangani kasus Prita. Dua kasus ini menarik untuk disimak, disamping karena menjadi bahan diskusi dan pembicaraan di media-media sosial di internet atau pembicaraan mulut ke mulut. Kasus-kasus ini mungkin berawal bukan dari niat untuk menjatuhkan seseorang atau sesuatu atau berniat melakukan perbuatan jahat.
Memang hukum tidak melihat pada niat, akan tetapi hukum melihat perbuatan seseorang. Boleh saja kita tidak bermaksud buruk atau jahat, tetapi hukum melihat akibat perbuatan yang dilakukan seseorang bisa saja mengakibatkan sesuatu yang buruk untuk orang lain. Begitu juga saat seseorang berjualan dengan media internet, orang tersebut hanya berniat menjualnya satu per satu, tidak akan menyangka jika ada yang berminat membeli barang dalam jumlah besar sehingga merasa keuntungan besar yang cepat dapat diraih. Ya, niatnya hanya menjual, jika barang bisa laku dengan cepat, seseorang akan berpikir hal tersebut lumrah-lumrah saja.
Kasus iPad dikatakan bahwa para terdakwa menjual barang iPad 3G WiFi 64GB tersebut secara online belum bersertifikat dan tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia. Para terdakwa menjualnya di jaringan internet di Kaskus, yang disebut-sebut sebagai jaringan terbesar yang digunakan oleh bangsa ini. Sedangkan kasus Prita diterima oleh MA dengan alasan bahwa perbuatan Prita melanggar UU-ITE.

Mengusik Tujuan Hukum

Seyogyanya tujuan hukum adalah untuk kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Akan tetapi, saya berkeyakinan aturan yang mendekati sempurna atau aturan yang baik adalah aturan yang dapat menyelaraskan kepastian, keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan atau sejalan. Aturan yang baik akan menjamin ketertiban, yang berarti seimbang antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Kasus Prita dan iPad menjadi buah bibir. Mungkin tidak perlu jauh-jauh, kasus pencurian buah kakao oleh seorang nenek yang dulu pernah muncul juga menjadi buah bibir sebagian besar masyarakat Indonesia. Kesemua kasus ini menjadi buah bibir karena mengusik ‘rasa keadilan’ di masyarakat.
Demi kepastian hukum kasus Prita dan iPad layak diproses. Bagaimana dengan sisi keadilannya? Pantaskah seorang nenek tua yang mencuri demi dapat makan hari itu dituntut, dihukum dan diadili bak pencuri uang negara bermilyar-milyar rupiah? Oh, ok, kasus ini telah ditutup.
Kasus Prita pun mendapat perhatian sebagian besar masyarakat dan mendapat perhatian baik dari pimpinan tertinggi Pemerintahan yaitu Presiden dan wakil-wakil rakyat, DPR. Berdasarkan berita Kompas.com hari Kamis tanggal 4 Juni 2009, Presiden menanggapi dan meminta kasus ini diselesaikan dengan cara out of the court. Menurut saya, jika seorang Presiden menyatakan hal tersebut nyata-nyata di depan publik, seyogyanya jaksa memperhatikan hal tersebut.
Bagaimana dengan kasus iPad? Seperti dinyatakan di atas, para terdakwa didakwa menjual produk belum bersertifikasi dan tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia. Bukankah seharusnya penjualan melalui online tersebut didasarkan atas asas konsensus dan mutual trust? Jika si pembeli mau menerima barang yang dijual baik dari segi harga, mutu produk dan segala isinya seharusnya sah bagi si pembuat transaksi. Mengapa penjual barang-barang telekomunikasi yang tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia, atau dalam istilah sehari-hari disebut BM (black market), yang beredar di toko-toko resmi tidak ditangkapi?
Jika rasa keadilan terusik maka wibawa hukum akan berkurang di mata masyarakat. Hal ini logis karena masyarakat menaruh harapan besar kepada sistem hukum bersama komponen-komponennya untuk menjaga kenyamanan dan melindungi hak-hak warga negara. Jika gagal memenuhi tujuan hukum, maka akan mendapat reaksi dari masyarakat. Hukum yang berwibawa adalah hukum yang memenuhi ketiga tujuan hukum tersebut. Peraturan yang berkaitan dengan kasus-kasus yang mengusik keadilan masyarakat ini perlu terus mendapat perhatian dan ditindaklanjuti untuk diperbaiki sehingga mendapatkan suatu aturan yang seimbang dan selaras sehingga mencapai tujuan hukum sesungguhnya, sehingga tidak ditemukan lagi proses hukum yang mendapat reaksi dari masyarakat.

sumber:
http://buruhmigran.or.id/2011/10/mantan-tkw-arab-saudi-depresi-6-tahun-tidak-digaji/
http://posmaria.wordpress.com/2011/07/12/kasus-prita-dan-ipad-mengusik-rasa-keadilan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar